Pamong belajar sebagai pendidik yang mempunyai tugas utama melakukan kegiatan belajar mengajar,  pengkajian program, dan pengembangan model pada satuan pendidikan nonformal, keberadaannya sudah diakui sebagai jabatan fungsional sejak tahun 1990. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pamong belajar dinyatakan sebagai salah satu jenis pendidik dalam sistem pendidikan kita (pasal 1 ayat 6). Namun demikian sampai saat ini perlakuan pemerintah terhadap pamong belajar masih belum optimal, bahkan cenderung diskriminatif dibandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap guru. Paling tidak ditengarai adalah tiga persoalan hukum yang mendera pamong belajar Indonesia.
Pertama, secara yuridis formal dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6, pamong belajar dinyatakan sebagai pendidik. Namun demikian dalam penjelasan pasal 39 ayat 1 pamong belajar dinyatakan sebagai tenaga kependidikan. Jadi dalam satu peraturan perundang-undangan pamong belajar dinyatakan sebagai pendidik sekaligus tenaga kependidikan. Secara teoritis hal ini akan menyulitkan dalam menyusun cetak biru pengembangan jabatan pamong belajar sebagai profesi.
Kedua, pamong belajar tidak diatur sama sekali dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sementara itu guru diatur dalam enam ayat sekaligus, sebagaimana tertuang dalam pasal 29 yang mengatur guru pendidikan anak usia dini hingga guru sekolah menengah kejuruan. Dalam setiap ayat tersebut diatur bahwa guru memiliki (a) kualifikasi pendidikan minimum D IV/S1, (b) latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang yang diampu, dan (c) sertifikat profesi guru. Semestinya pamong belajar juga diatur sebagaimana guru dalam peraturan pemerintah tersebut. Hal ini merupakan keharusan karena Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 Tahun 2005 mengatur tentang Standar Nasional Pendidikan, sementara itu pamong belajar secara yuridis formal dalam undang-undang diakui sebagai pendidik. Dengan demikian, tidak dicantumkannya pamong belajar dalam peraturan pemerintah tersebut merupakan kelalaian sehingga menyulitkan pengembangan standar kualifikasi akademik dan kompetensi pamong belajar.
Sudah dua kali dalam kurun waktu dua tahun Ikatan Pamong Belajar Indonesia (IPABI) sebagai organisasi profesi pamong belajar berkirim surat dan melakukan lobi agar Kemdiknas mengamandemen peraturan pemerintah dengan memasukkan pasal tentang pamong belajar. Namun jawabannya selalu normatif dan dianggap sudah tertampung dalam  dalam PP no 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pamong belajar sebagai pendidik yang harus distandarkan. Standarisasi harus tertuang dalam standar nasional pendidikan (PP 19 Tahun 2005) bukan pada regulasi tentang pengelolaan dan penyelengaraan pendidikan. Pada PP no 17 Tahun 2010 pamong belajar hanya sebatas disebutkan pengertiannya, namun belum diatur standar umumnya sebagaimana guru diatur dalam pasal 29 ( ayat 1 sampai dengan 6) PP 19 tahun 2005. Artinya, jika PP 19 Tahun 2009 tidak dilakukan amandemen oleh pemerintah maka pemerintah bisa saja dianggap tidak perlu menstandarkan pamong belajar sebagai pendidik, baik kualifikasi maupun kompetensinya.
Ketiga, sampai saat ini pamong belajar belum memiliki payung hukum standar kualifikasi dan kompetensi. Badan Standar Nasional Pendidikan sudah menyusun draf standar kualifikasi dan kompetensi pamong belajar sejak tahun 2007 namun sampai sekarang belum kunjung menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas). Sementara itu guru sudah memiliki standar kualifikasi dan kompetensi guru sebagaimana diatur dalam Permendiknas nomor 16 Tahun 2007.
Diduga belum ditandatanganinya draf standar kualifikasi dan kompetensi pamong belajar menjadi Permendiknas karena pemerintah khawatir jika pamong belajar menuntut sertifikasi dan tunjangan profesi seperti guru. Padahal populasi pamong belajar seluruh Indonesia hanyalah sebesar 3.476 orang (Tahun 2012) yang tersebar di kabupaten/kota dan provinsi serta UPT pusat, dan ‘hanya’ membutuhkan alokasi anggaran sebesar Rp. 104,28 milyar per tahun. Dibandingkan dengan alokasi tunjangan profesi guru pada tahun 2011 sebesar Rp. 18,537 triliun tidak berarti apa-apa! Hal ini menunjukkan bukti adanya perlakuan diskriminatif antara pendidik formal dan pendidik nonformal, antara guru dan pamong belajar. Padahal sejak awal menjabat Mendiknas, Moh. Nuh,  menyatakan akan bersikap non diskriminatif terhadap dunia pendidikan nonformal. Sayangnya sikap tersebut belum terbukti untuk pamong belajar, karena sudah dua tahun lebih menjabat standar kualifikasi dan kompetensi pamong belajar belum juga diteken.
B. Pamong Belajar Bisa Punah
Ketidakjelasan payung hukum pamong belajar juga menyulitkan bagi daerah untuk melakukan rekrutmen pamong belajar baru, karena belum memiliki standar kualifikasi. Sementara itu jumlah pamong belajar semakin hari semakin menyusut karena pensiun, meninggal, dipromosikan ke jabatan struktural, dan bahkan mutasi ke jabatan lain atas permintaan sendiri. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena jalur pendidikan nonformal memerlukan pamong belajar sebagai pendidik, pengkaji dan pengembang model pembelajaran dalam memberikan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat luas.
Sebelum terbitnya Peraturan Menteri PAN dan RB nomor 15 Tahun 2010 tentang jabatan fungsional pengangkatan pertama kali ke dalam jabatan pamong belajar oleh pemerintah daerah tidak beraturan, sehingga banyak terjadi pengangkatan pamong belajar dari berbagai disiplin ilmu non kependidikan dimana hal ini akan menjadi kesulitan ketika akan menegakan pamong belajar sebagai sebuah profesi.
Sejak berlakunya otonomi daerah terdapat kecenderungan jumlah Pamong Belajar berkurang. Pada tahun 2008 jumlah pamong belajar 3.615 orang dan menyusut menjadi 3.476 orang. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan berkurangnya Pamong Belajar, yaitu (1) dipromosikan ke dalam jabatan struktural atau jabatan lainnya; (2) memasuki masa pensiun, dan (3) mengajukan diri mutasi menjadi guru. Namun semua itu tidak diimbangi dengan rekrutmen Pamong Belajar yang memadai. Bahkan di sebagian besar daerah (provinsi dan kabupaten/kota) rekrutmen Pamong Belajar tidak pernah dilakukan sejak BPKB dan SKB diserahkan kepada daerah.
Walaupun sudah terbit PermenPAN RB nomor 15 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya sebagian besar daerah masih sulit  melakukan rekrutmen pamong belajar baru (CPNS) terkendala belum adanya standar kualifikasi akademik pamong belajar. Kondisi ini jika dibiarkan terlalu lama maka bukan tidak mungkin jumlah pamong belajar akan semakin cepat berkurang karena tidak sedikit Pamong Belajar yang akan memasuki masa pensiun, paling tidak dalam jangka waktu lima tahun mendatang terdapat 276 orang atau 7,63% yang akan pensiun. Hal ini belum lagi pamong belajar yang menduduki golongan ruang III/d ke atas berpotensi untuk dimutasikan ke dalam jabatan struktural oleh pemerintah daerahnya. Sementara itu pamong belajar yang berada pada kisaran usia 25-30 tahun banyak yang sedang mempertimbangkan untuk pindah ke dalam jabatan guru.
Kepunahan ini semakin di depan mata ketika pemerintah melakukan moratorium CPNS, jika jabatan pamong belajar termasuk yang dimoratorium. Karena selama ini masih terdapat sikap diskriminatif terhadap jabatan ini. Kategorial pendidik dalam pengecualian moratorium CPNS harus diperjelas lagi. Ketika kategorial pendidik hanya berlaku bagi guru dan dosen, maka siap-siaplah pamong belajar memasuki era kepunahan.
C. Tunjangan Fungsional Pamong Belajar
Tunjangan perbaikan penghasilan bagi guru PNS (Peraturan Presiden nomor 59 Tahun 2009) yang dicanangkan Presiden pada peringatan Hari Guru 26 November 2009 telah mengusik perasaan sebagian besar pamong belajar. Disadari bahwa tunjangan tersebut diberikan kepada para guru yang belum menerima tunjangan profesi, artinya pemerintah punya maksud untuk menghilangkan kesenjangan antara guru yang sudah menerima tunjangan sertifikasi dan yang belum menerima.
Sementara itu pamong belajar semakin tertinggal kesejahteraannya dibanding para guru. Sebelum para guru menerima tunjangan profesi dan tunjangan perbaikan (Rp. 250.000,00) tunjangan kependidikan guru golongan III sudah lebih tinggi Rp. 55.000,00 dibanding pamong belajar golongan III, dan tunjangan kependidikan guru  golongan IV lebih tinggi Rp. 44.000,00 dibanding pamong belajar golongan IV. Artinya, guru golongan III yang saat ini belum menikmati tunjangan profesi sudah menikmati kesejahteraan Rp. 305.000,00 lebih banyak dibanding pamong belajar. Inilah salah satu potret, di antara banyak potret, termarjinalnya pendidikan nonformal termasuk pendidiknya dalam sistem pendidikan nasional kita.
Ketika pertama kali pengurus pusat mendapat berita sekaligus pertanyaan terkait dengan persoalan di atas dari pamong belajar di daerah, lalu mencari informasi pada situs Sekretariat Negara (tanggal 9 Desember 2009). Pengurus pusat mencari tahu Peraturan Presiden yang mengatur tunjangan fungsional. Mengapa yang dicari aturan tunjangan fungsional? Lebih fundamental memperjuangkan tunjangan fungsional daripada memperjuangkan tunjangan perbaikan sebesar Rp. 250.000,00 karena hanya didasari pada rasa iri belaka. Lagi pula pamong belajar belum masuk pada skema sertifikasi profesi. Jangankan pada proses sertifikasi, landasan hukum untuk menuju ke arah sertifikasi belum ada karena standar kualifikasi dan kompetensi Pamong Belajar belum ada. Padahal standar kompetensi menjadi kisi-kisi utama untuk mengembangkan instrumen sertifikasi profesi.
Betapa terkejutnya ketika berselancar di situs Sekretariat Negara, menemukan fakta bahwa sejak tahun 2007 hingga tahun 2009 saja sudah keluar 54 (baca: lima puluh empat) Peraturan Presiden yang mengatur tunjangan fungsional berbagai jabatan fungsional di Republik Indonesia. Bahkan beberapa Peraturan Presiden mengatur lebih satu jabatan fungsional. Misalnya saja Peraturan Presiden nomor 32 Tahun 2007 yang mengatur 9 jabatan fungsional dalam bidang pertanian: Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan, Pengawas Benih Tanaman, Pengawas Bibit Ternak, Medik Veteriner, Paramedik Veteriner, Pengawas Perikanan, Pengendali Hama dan Penyakit Ikan, dan Pengawas Benih Ikan. Kemudian Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2007 yang mengatur 17 jabatan fungsional dalam bidang kesehatan. Artinya, 54 Peraturan Presiden itu tidak hanya mengatur 54 jabatan fungsional, namun lebih dari itu paling tidak lebih dari 78 jabatan fungsional sudah diatur tunjangan fungsionalnya.
Namun tidak ditemukan Peraturan Presiden yang mengatur tunjangan fungsional pamong belajar. Padahal sejak adanya Keputusan Menpan nomor 127/Menpan/1989 Pamong Belajar dinyatakan sebagai jabatan fungsional. Berarti sudah lebih 20 tahun yang lalu Pamong Belajar secara yuridis formal diakui sebagai jabatan fungsional namun sampai detik ini belum mendapatkan tunjangan fungsional.
Di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat paling tidak terdapat lima jabatan fungsional yang menjadi tanggung jawab binaannya yaitu, dosen, guru, pengawas, pamong belajar, dan penilik. Dari kelima jabatan fungsional tersebut hanya dosen saja yang sudah memiliki tunjangan fungsional yang diatur dengan Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2007. Untuk guru dan pengawas saat ini sudah mendapatkan tunjangan profesi walau belum memperoleh tunjangan fungsional. Pamong belajar dan penilik adalah insan yang paling kurang beruntung diantara kelima jabatan fungsional tersebut, belum mendapatkan tunjangan fungsional apalagi tunjangan profesi.
Memperhatikan Peraturan Presiden tentang tunjangan jabatan fungsional yang sudah diterbitkan, dicermati ada beberapa jabatan fungsional yang cara melaksanakan tugasnya mirip-mirip Pamong Belajar. Sebut saja jabatan fungsional: Penggerak Swadaya Masyarakat, Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana, Penyuluh Pertanian, Penyuluh Kehutanan, Penyuluh Perindustrian, Penyuluh Agama, Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial. Jabatan fungsional yang disebutkan tadi memang tidak satu rumpun dengan jabatan fungsional pamong belajar namun cara melaksanakan atau metode bekerjanya hampir sama dengan pamong belajar, namun mereka sudah dipikirkan dan diberikan penghargaan oleh pemerintah atas kinerja dalam menduduki jabatan fungsional.
Dalam konsideran menimbang butir pertama dalam setiap Peraturan Presiden yang diterbitkan terkait tunjangan jabatan fungsional selalu berbunyi: “bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional (disebutkan jabatan fungsional dimaksud), perlu diberikan tunjangan jabatan fungsional yang sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya;”. Artinya apa? Pamong belajar juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh tunjangan fungsional karena pamong belajar adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Pamong Belajar. Kecuali, jika pamong belajar memang belum dipandang perlu untuk menerima tunjangan fungsional.
Kemudian informasi ini disampaikan kepada pihak terkait di Direktorat PTK PNF Ditjen PMPTK (waktu itu), yaitu pada tanggal 15 Desember 2009 di Hotel Equator, Surabaya. Gayung bersambut, IPABI diminta untuk segera menyusun naskah akademik pengajuan tunjangan fungsional jabatan pamong belajar. Pada tanggal 22 Desember 2009 Ketua  Umum IPABI dan Ketua Umum IPI bersepakat menyusun langkah bersama untuk mengajukan tunjangan fungsional. Perkembangan berikutnya kemudian dilakukan berbagai rapat lintas kementrian dan lembaga untuk membahas usulan tunjangan fungsional. Dan dalam beberapa kesempatan IPABI memberikan dukungan kepada Direktorat PTK PNF dengan memberikan data pamong belajar berdasarkan provinsi, dan kabupaten/kota guna menghitung besaran tambahan alokasi belanja pegawai ke daerah.
Menurut IPABI usulan tunjangan fungsional lebih konseptual dibandingkan menuntut tunjangan perbaikan penghasilan sebagaimana yang diterima guru sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Sehingga tunjangan fungsional diharapkan dapat mengurangi kesenjangan kesejahteraan antara guru dan pamong belajar.
Berdasarkan perhitungan dengan asumsi usulan Pamong Belajar Pertama diberikan tunjangan fungsional sebesar Rp. 450.000,00; Pamong Belajar Muda sebesar Rp. 550.000,00 dan Pamong Belajar Madya sebesar 800.000,00 diperoleh kebutuhan anggaran sebesar Rp. 10.246.740,00. Jumlah ini relatif kecil jika kita memiliki keinginan untuk memberikan penghargaan kepada Pamong Belajar sebagai pejabat fungsional.
IPABI memberikan apresiasi yang tinggi karena hasil analisis dan uji FES pada rapat antar kementrian dan lembaga tentang usulan tunjangan fungsional, besaran tunjangan fungsional lebih tinggi daripada usulan IPABI. Harapannya proses pembahasan usulan tunjangan fungsional dapat berjalan dengan lancar dan proses dapat dipercepat. Hal ini mengingat bahwa pembahasan usulan tunjangan fungsional sudah berlangsung dua tahun lebih, jalan masih berliku dan belum jelas kapan peraturan presiden akan ditandatangani.
D. Ranah Kebijakan Sertifikasi Profesi Pamong Belajar
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Sementara pengertian berkualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu atau menduduki jabatan. Mencermati pemahaman ayat tersebut maka pamong belajar diharuskan memiliki keahlian, baik persyaratan kualifikasi akademik maupun kompetensi, yang diperlukan untuk melakukan tugas pokok sebagai pamong belajar. Dalam pemahaman inilah maka sertifikasi profesi pamong belajar adalah sebuah keniscayaan. Dalam artian sertifikasi dipahami sebagai proses uji kompetensi dalam memperoleh sertifikat untuk melaksanakan tugas pokoknya.
Kajian Pengurus Pusat Ikatan Pamong Belajar Indonesia, menemukan tiga ranah yang perlu didorong terus untuk melakukan berbagai upaya sehingga sertifikasi pamong belajar dapat diwujudkan.
Ranah pertama adalah ranah kementrian/lembaga yang meliputi payung hukum keberadaan pamong belajar. Sebagaimana sudah disampaikan pada bagian di depan, bahwa pamong belajar belum memiliki payung hukum yang kuat. Hal mana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tidak diatur sama sekali tentang pamong belajar. Walaupun kemudian disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, namun hal tersebut mengisyaratkan bahwa standarisasi profesi pamong belajar telah tercecer dalam kebijakan pemerintah. Hal ini akan menjadi persoalan hukum karena Peraturan Pemerintah  19 tahun 2005 yang mengatur tentang standar nasional pendidikan, karena pamong belajar tidak diatur dalam bab tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan.
IPABI pernah mengajukan usulan amandemen terhadap PP 19 Tahun 2005 pada tanggal 23 Februari 2010 kepada Mendiknas dan dijawab dengan surat nomor 11605/A.5.1/HK/2010 tertanggal 3 Maret 2010 yang disimpulkan oleh Biro Hukum Kemdiknas bahwa usulan amandemen sudah kurang relevan dan usulan tersebut sudah diakomodasi dalam PP 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan. IPABI pun menjawab, bahwa setelah dipelajari masih terdapat kekosongan hukum karena dalam pasal 176 ayat 4 yang berbunyi “Pembinaan karier pendidik dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualifikasi akademik dan/atau kompetensi sebagai agen pembelajaran dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan”, dalam hal dimaksud pasal 176 ayat 4 tersebut maka Pamong Belajar belum memiliki acuan karena dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan belum diatur. Di samping itu, dengan belum tercantumnya pamong belajar di dalam Peraturan Pemerintah 19 Tahun 2005, dinilai bahwa saat ini pamong belajar belum memiliki standar yang jelas sebagai pendidik.
Ranah kedua adalah ranah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang berwenang merumuskan standar kualifikasi akedemik dan kompetensi pamong belajar. Menurut pasal 7 ayat 6 PermenPAN RB nomor 15 Tahun 2010 disebutkan bahwa dalam setiap kenaikan jenjang jabatan Pamong Belajar harus lulus uji kompetensi, sudah barang tentu untuk melakukan uji kompetensi ini terlebih dahulu harus ada standar kompetensi pamong belajar sebagai dasar pengembangan instrumen uji kompetensi. Sementara itu uji kompetensi secara konstektual adalah proses sertifikasi, karena sertifikasi adalah proses memperoleh sertifikat melalui uji kompetensi.
Pada bulan Agustus 2011 IPABI kembali menanyakan nasib rancangan Permendiknas tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Pamong Belajar, yang konon kabarnya sudah diserahkan dari BSNP ke Kemdiknas sejak tahun 2007 namun hingga saat ini belum diterbitkan. Padahal standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru sudah diterbitkan sejak tahun 2007 dengan Permendiknas nomor 16 Tahun 2007. Apakah karena populasi pamong belajar yang hanya sedikit (3.615 orang) dan berada dalam jalur pendidikan nonformal sehingga standarisasi jabatan pamong belajar dikesampingkan. IPABI masih teringat dengan pernyataan Mendiknas yang akan bersikap nondiskriminatif antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal, turunannya hendaknya juga bersikap nondiskriminatif antara guru dan pamong belajar.
Ranah ketiga adalah ranah pendidikan tinggi, karena pendidikan profesi merupakan kewenangan pendidikan tinggi. Pendidikan profesi diartikan sebagai pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Karena itulah, peta jalan menuju sertifikasi profesi pamong belajar juga harus melibatkan komponen pendidikan tinggi untuk merumuskan kurikulum pendidikan profesi. Dalam hal ini kiranya jurusan Pendidikan Luar Sekolah dianggap tepat untuk diajak bersama memikirkan konsep pendidikan profesi pamong belajar, baik pendidikan profesi dalam jabatan maupun pendidikan profesi pra jabatan.
Pada tataran ini IPABI sudah mengartikulasikan pada jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) melalui Temu Kolegial Jurusan PLS pada bulan Juni 2010. Bola sudah bergulir, tinggal bagaimana kerjasama antar komponen sehingga tujuan dapat dicapai. Jurusan PLS dapat menyusun konsep pendidikan profesi pamong belajar dengan pendekatan multi entry, karena masukan jabatan pamong belajar tidak hanya berkualifikasi sarjana pendidikan luar sekolah.
E. Penutup
Kita semua pasti memiliki paradigma yang sama bahwa layanan pendidikan nonformal yang berkualitas hanya akan dilakukan oleh pendidik yang berkualitas pula. Kualitas pamong belajar sebagai pendidik, di antaranya dilakukan melalui uji kompetensi yang dipahami sebagai sertifikasi profesi. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sertfifikasi adalah proses memperoleh sertifikat melalui uji kompetensi. Sedangkan sertifikasi tidak akan pernah bisa dilaksanakan jika standar kualifikasi akademik dan kompetensi pamong belajar belum diterbitkan menjadi Permendikbud